6 Pelajaran Berharga dari Dina Darmayani, Semangat Menulis Bersama Ufuk Literasi!
Banyak yang berpikir bahwa kesuksesan dalam menulis hanya dapat diraih oleh mereka yang berlatar belakang sastra atau jurnalisme. Namun, Dina Darmayani membuktikan bahwa anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Sebagai seorang perawat dan ibu dari tiga anak, Dina tidak hanya berhasil menjalani profesinya di bidang kesehatan, tetapi juga mengukir prestasi di dunia kepenulisan.
Berawal dari kecintaannya terhadap dunia imajinasi sejak masa remaja, ia terus mengembangkan kemampuan menulisnya hingga mampu menerbitkan karya-karya yang diapresiasi. Kisah perjalanan Dina adalah cermin dari tekad, ketekunan, dan semangat belajar yang menginspirasi banyak orang untuk terus berkarya, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda. Nah, berikut adalah 6 Pelajaran dari Dina Darmayani, penulis yang menemukan kembali semangat menulis bersama Ufuk Literasi.
#1. Latar Belakang Tak Menjadi Batasan
Dina Darmayani Puspitasari adalah contoh nyata bahwa latar belakang akademis dan profesi tak harus membatasi seseorang dalam mengejar passion-nya. Meski ia merupakan lulusan Ilmu Keperawatan dan bekerja sebagai perawat di Sukabumi, kecintaannya terhadap dunia kepenulisan tetap kuat. Perjalanan menulisnya dimulai saat ia duduk di bangku SMA, ketika novel-novel fiksi seperti Harry Potter dan The Lord of the Rings memicu imajinasinya. Meskipun berprofesi di bidang kesehatan, semangat menulis tetap hidup, membuktikan bahwa siapa pun bisa menulis tanpa terikat oleh bidang studi atau pekerjaan formal.
Menariknya, Dina tak hanya berperan sebagai seorang perawat yang merawat orang lain, tetapi juga sebagai seorang ibu dari tiga anak yang luar biasa. Meski tanggung jawabnya sangat besar, ia tetap menemukan celah dalam kesehariannya untuk melanjutkan menulis. Hal ini menunjukkan bahwa dengan manajemen waktu yang baik dan kemauan kuat, profesi dan tanggung jawab keluarga bukanlah penghalang untuk berkarya. Bahkan, kesibukan ini mungkin justru memberikannya inspirasi dan motivasi untuk terus menulis.
#2. Menemukan Kembali Semangat Lama
Seperti halnya banyak penulis lain, perjalanan Dina sempat terhenti untuk beberapa waktu. Namun, pada awal tahun 2020, momen penting terjadi ketika ia menemukan kembali beberapa cerpen lama yang ia tulis di masa SMA. Saat itu, Dina sedang beres-beres rumah dan tanpa sengaja menemukan catatan lamanya. Ini menjadi titik balik penting dalam hidupnya, di mana nostalgia membawa kembali hasrat menulis yang sempat terlupakan. Momen menemukan karya lama ini bukan sekadar kebetulan, melainkan peluang untuk menyegarkan semangat yang telah lama terpendam.
Setelah membaca ulang cerpen-cerpen tersebut, Dina merasa terpanggil untuk kembali ke dunia kepenulisan, namun kali ini dengan pendekatan yang lebih matang. Jika sebelumnya menulis hanya sekadar hobi tanpa struktur, kini ia mulai belajar teknik-teknik menulis yang lebih baik. Momen ini juga menjadi pengingat bagi banyak penulis lainnya bahwa terkadang, sesuatu yang kita tinggalkan di masa lalu dapat kembali menjadi sumber inspirasi ketika saatnya tepat.
#3. Karya yang Muncul dari ‘Halu’ Bisa Berkembang dengan Ilmu
Awalnya, Dina menulis cerita fiksi hanya berdasarkan imajinasi semata, atau yang biasa ia sebut sebagai 'halu.' Menulis menjadi tempat pelarian untuk menuangkan segala bentuk fantasi tanpa panduan formal tentang struktur atau logika cerita. Namun, seiring dengan waktu, Dina menyadari bahwa menulis cerita fiksi ternyata tidak sesederhana yang ia bayangkan. Hanya mengandalkan imajinasi tanpa riset atau teknik yang tepat membuat cerita menjadi tidak realistis dan sulit dicerna pembaca. Ini menjadi titik di mana ia mulai belajar lebih dalam tentang kepenulisan.
Setelah bergabung dengan komunitas Ufuk Literasi, Dina mulai memahami bahwa menulis fiksi pun membutuhkan riset dan pemahaman tentang alur yang baik. Imajinasi perlu diimbangi dengan logika agar cerita tetap relevan dan menarik. Dari sana, ia mulai melakukan riset mendalam untuk mendukung ceritanya, belajar tentang karakterisasi, konflik, dan cara membangun plot yang kuat. Transformasi ini membuktikan bahwa dengan ilmu dan pengalaman, bahkan cerita fiksi yang lahir dari 'halu' pun bisa berkembang menjadi karya yang memiliki kualitas.
4. Menghasilkan Karya Fiksi dan Non-Fiksi
Meski dikenal lebih produktif dalam menulis fiksi, Dina juga mulai merambah ke penulisan non-fiksi. Dalam karir kepenulisannya, ia sudah menerbitkan beberapa karya fiksi baik dalam bentuk buku solo maupun antologi. Beberapa di antaranya adalah novel Miss Julid (2021) dan Sahabat Kok Gitu, Sih? (2023). Selain itu, ia juga telah menulis cerpen-cerpen yang diterbitkan dalam antologi bersama penulis lain. Namun, tidak puas hanya dengan fiksi, Dina mulai mencoba menulis non-fiksi, memperkaya portofolio tulisannya dengan perspektif dan gaya yang berbeda.
Melalui berbagai karya antologi, baik fiksi maupun non-fiksi, Dina menunjukkan bahwa penulis yang baik tidak perlu terpaku pada satu genre saja. Menyeimbangkan antara fiksi yang menuntut kreativitas dengan non-fiksi yang lebih terikat pada fakta membuatnya lebih fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan berbagai tantangan penulisan. Ia terus mengeksplorasi gaya menulis yang berbeda, dan hasilnya, karya-karyanya semakin variatif. Keberhasilan dalam kedua genre ini menjadi bukti bahwa menulis bukan hanya soal pilihan genre, tetapi soal keberanian untuk terus bereksperimen dan berkembang.
5. Bergabung dengan Komunitas Ufuk Literasi Menambah Wawasan dan Dukungan
Ketika Dina memutuskan untuk memperdalam dunia menulis, ia mencari lingkungan yang bisa mendukung pertumbuhan tersebut. Saat itulah ia bertemu dengan komunitas Ufuk Literasi. Dina menemukan komunitas ini melalui unggahan di Instagram yang menarik perhatiannya. Ufuk Literasi, dengan berbagai program dan kelas-kelasnya, menjadi tempat Dina belajar banyak tentang teknik menulis yang lebih baik. Tak hanya itu, komunitas ini juga memberikan akses ke lingkungan yang penuh dengan penulis lain, yang saling berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Dalam komunitas tersebut, Dina merasa bahwa ia tidak hanya belajar dari kelas yang disediakan, tetapi juga dari interaksi dengan sesama anggota. Diskusi bersama sesama penulis memberi inspirasi baru dan pandangan yang lebih luas tentang dunia kepenulisan. Dengan demikian, Dina tidak hanya mendapatkan ilmu teknis, tetapi juga dukungan moral yang mendorongnya untuk terus berkembang. Komunitas ini menjadi ruang di mana ia bisa mengasah kemampuan sekaligus memperluas jejaring sosialnya di dunia penulisan.
#6. Prestasi Dimulai dari Langkah-Langkah Kecil
Meski Dina merasa belum memiliki banyak prestasi besar di dunia kepenulisan, ia tetap berbangga dengan pencapaian yang telah ia raih. Salah satu pencapaian yang ia anggap paling membanggakan adalah penerbitan buku solonya. Dengan berbagai kesibukan, menerbitkan buku solo bukanlah hal yang mudah, tetapi Dina berhasil melakukannya dengan ketekunan dan semangat tinggi. Karyanya, Sahabat Kok Gitu, Sih? yang terbit di Ufuk Media pada tahun 2023, menjadi bukti nyata bahwa kerja keras pasti membuahkan hasil.
Di samping itu, Dina juga telah meraih beberapa penghargaan di ajang kepenulisan, seperti menjadi juara favorit di lomba cerpen horor/thriller Writing Project dan memenangkan sayembara fiksi mini di Ay Publisher. Prestasi-prestasi ini mungkin tampak kecil, tetapi bagi Dina, setiap kemenangan adalah langkah maju menuju pencapaian yang lebih besar. Ini menjadi motivasi bagi penulis lain bahwa tidak ada pencapaian yang terlalu kecil; setiap langkah adalah bagian penting dari perjalanan panjang menuju kesuksesan yang lebih besar.
Melalui pengalaman Dina, kita belajar bahwa menjadi seorang penulis adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan, namun juga penuh dengan kesempatan untuk terus berkembang. Dengan semangat belajar dan dukungan komunitas yang tepat, siapa pun bisa meraih kesuksesan di dunia penulisan. Untuk script asli perjalanan Dina Darmayani bisa klik di sini, ya!
Kereeen