[CERPEN] Rintik Kerinduan yang Menjadi Kematian - Karya Laila Srianjani

Daftar Isi

‘‘Apakah kamu bersedia, Nak?’’ ujar Bu Nyai dengan penuh harap kepada Laira. Gus Syaqil yang perkataannya selembut sutra pun berkata, ‘’Insyaallah aku akan menunggumu sampai kapan pun itu.’’

Lantas semua perkataan itu bagaikan hujan disertai dengan gemuruhnya petir yang sangat dahsyat. Laira hanya bisa terdiam layaknya peri bisu yang tersambar semu.

Malam pun berlalu. 

Laira terbangun karena sinar matahari menembus jendela kamar asramanya. Entah kenapa tidak ada satu pun temannya yang jeremba untuk membangunkan, ia hanya menatap langit-langit kamar sambil menangisi kejadian semalam. Ia segera bergegas ke kamar mandi dengan tubuh yang penuh keluh dan rusuh. Sesampainya di kamar mandi, ia menatap cermin dengan wajahnya yang kusut dengan segala rasa yang bergelut, ia menangis bukan karena terluka, tetapi karena trauma berat yang dideritanya. Setelah wudu, ia melaksanakan Salat Subuh pada jam yang sangat tidak biasa, yaitu pukul tujuh pagi. Semua teman menatap benci seakan-akan tidak ada yang peduli kepadanya.

”Eh, tumben kamu kesiangan, udah yakin masuk surga, ya? Kan bakal jadi calon Gus Syaqil,” ujar Trisna sambil memasang wajah kesalnya.

Laira hanya menatap wajah Trisna dengan penuh maklum karena Laira sadar bahwa Trisna tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini.

Teman-teman yang lainnya pun mengejeknya, ‘‘Oh, salihah kemarin-kemarin itu cuma buat dapetin hatinya, Gus?’’ ujar mereka, teman asrama yang sangat menginginkan Gus Syaqil. Setelah itu, Laira segera bergegas untuk pergi ke sekolah.

Matahari tepat berada di atas kepalanya sambil tersenyum gairah pada dunia, dan sinarnya seolah memeluk tubuhnya dengan kehangatan tetapi tidak dengan keadaannya ia berjalan sambil merasakan sakitnya kepedihan dan hatinya terus berzikir kepada Allah Swt. 

Di tengah perjalanan, Laira mendadak menghentikan langkah kakinya itu karena mendengar ada orang menyapanya.

"Eh, Dek, mau ke mana?" ujar laki-laki tersebut sambil memperbaiki tali sepatunya.

‘’Oh, iya, Kak. Aku mau daftar untuk melanjutkan SMA,” jawab Laila dengan senyum ramahnya sambil menundukkan pandangannya.

‘‘Kalau gitu barengan aja, ya,’’ ujar laki-laki itu, dan Laira pun menganggukkan kepalanya. Mereka berjalan bersama sambil mengobrol dan menikmati indahnya pemandangan. Laki-laki itu mendadak menghentikan langkahnya dan menyuruh Laira menunggu karena pecinya tertinggal di asrama. Laira pun menunggu dengan wajah kemerahan karena melihat seorang laki-laki yang begitu rupawan, tinggi, putih, wangi dan berakhlak, seakan-akan kesedihan pun hilang seketika karena pertemuan pertamanya dengan laki-laki itu, tidak lama kemudian laki-laki itu berlari menghampiri Laira dan berkata, “Maaf ya lama, soalnya kalau nggak bawa peci bakalan kena hukum, ‘’ ujarnya sambil tersenyum.

Mereka pun melanjutkan perjalanan dan membicarakan mulai dari pendaftaran sampai keorganisasian, hingga sampailah mereka di depan ruang pendaftaran. Namun, Laira merasa ada hal yang aneh dikarenakan hampir seluruh siswa melihat ke arah mereka dan saling berbisik. Ternyata laki-laki itu adalah laki-laki terpopuler di sekolahnya. Pantaslah mereka semua melihat ke arahnya. 

’‘Aku duluan ya, soalnya udah terlambat,’’ ujar laki-laki itu sambil menjaga pandangannya, Laira pun menganggukkan kepala sambil tersenyum malu.

Pendaftaran pun dimulai, semua calon siswa dan siswi  mengumpulkan semua persyaratan . Namun, Laira tampak kebingungan dengan tubuh gemetaran mengingat kejadian semalam. Laira dengan wajah pucatnya sambil menunggu hasil dari tes yang telah dilaksanakan dengan ketidakfokusan. Laki-laki itu pun terus memperhatikan Laira dengan rasa khawatir yang luar biasa.

‘‘Mohon perhatian waktu belajar telah selesai.’’ Bel pulang pun berbunyi, tetapi Laira belum pulang juga karena menunggu satu persyaratan yang tampak sulit untuk diajukan. Laki-laki itu pun tetap melihat dari sudut kelasnya, hingga ia memutuskan untuk menanyakan nama gadis itu kepada staf TU dan membantu persyaratan tanpa sepengetahuan Laira. Akhirnya Laira diperbolehkan untuk pulang, laki-laki itu masuk ke ruang pendaftaran melihat semua data milik Laira dengan tersenyum ia memegang data dan terus memperhatikan foto pada formulir, ‘’Oh, Laira namanya,” ujar laki-laki itu. Sejak itu pun ia selalu menyebut Laira dalam doa  di sepertiga malamnya dan begitu juga dengan Laira ia selalu merindukan sosok laki-laki misterius itu.

Hingga tibalah hari bahagia sepondok datang karena setiap kamis pukul lima sore di mana para santri dibebaskan untuk memegang handphone, hingga akhirnya Laira mengorbankan dirinya untuk meminjam handphone kakak tingkatnya yaitu Kak Rajbiah untuk mencari tahu siapa sosok laki-laki yang mengantarnya pada hari itu. Eh, ternyata kak Rajbiah itu telah berteman di Facebook dengan laki-laki itu, sehingga tidak perlu repot-repot lagi untuk mencari siapa dia. Laira dengan teriak kegirangan bagaikan orang menemukan keajaiban karena melihat akun laki-laki itu, dan juga Laira menemukan no. WhatsApp di kolom komentar Facebook miliknya. Laira menghafalnya sambil jungkir balik kesenangan, lalu kak Rajbi pun ikut tersenyum.

‘‘Kenapa nih gadis cantik senyum-senyum sendiri sambil jungkir balik segala,” ujar Kak Rajbiah.

Laira pun menceritakan semua kejadian waktu daftar.

‘‘Oh, kamu suka sama dia?’’ ujar Kak Rajbiah dengan wajah usilnya.

Sontak Laila pun kaget dan pipinya memerah, ‘‘Eh, enggak, Kak. Laira Cuma mau tahu doang.’’  dan Kak Rajbiah pun membicarakan sosok laki-laki itu. ‘’Namanya Anggara  kelas XI, ia aktif pramuka kok, pintar, dan bahkan ia adalah wakil ketua OSIS di SMA ini. Cocok sama kamu.’’ Wajah Laira semakin memerah dan tersipu malu mendengar cerita Kak Rajbiah.

Tibalah waktu pertama masuk sekolah SMA, Laira sangat senang karena akan bertemu dengan Kak Anggara. Laira berangkat dengan begitu cantiknya bagai bulan dengan sinarnya karena ini adalah hari pertama MPLS dan begitu juga dengan Anggara, seperti biasa ia adalah anak paling rapi di sekolah, tetapi sayangnya sering terlambat, karena persiapan kerapiannya itu.

Pada hari pertama sekolah, Laira melihat kak Anggara dengan seorang laki-laki, sontak Laira dengan wajah pucatnya melihat lelaki yang selalu tertulis dalam setiap rintik hujan yang menjadi genangan dan kini telah terasingkan bahkan tak lagi menjadi bayangan sekalipun. Ia adalah  Askandar orang yang sudah Laira kagumi sejak kelas 5 SD, dan Askandar merupakan adik dari Gus Syaqil. Laira begitu menyimpan rasa seluas samudera yang tak kan terlihat oleh lentera, tetapi rasa cinta itu kandas karena Askandar telah menyayat hati Laira yang begitu tulus sehingga Laira tak lagi ingin mengaguminya dan merasa sangat tidak pantas.

‘’Aku jadi paham bahwa sebuah luka tak akan pernah menghapus kerinduan, kerinduan ini telah membunuhku dan mengingat Kembali cerita mengagumimu, sesak rasanya.’’ Itulah yang ada di dalam hati Laira.

Laira berlari dengan tubuh yang bergetar dipenuhi keringat dan tangis, ia tak mampu menghilangkan kerinduan dengan cara mencintai seseorang dan ternyata yang ia cintai adalah sahabat sendiri Askandar.

Pertemuan itu bagai rintik hujan yang mampu membuat lubang kerinduan yang lebih dalam meski hanya dengan tetesannya, Askandar bagaikan hujan selalu pergi tanpa perpisahan, dan ia bagai petir, selalu singgah meninggalkan sayatan luka yang sangat mendalam.

Satu tahun berjalan dengan penuh pertanyaan antara Laira dan Anggara karena mereka sama-sama saling menyukai dalam diam dan mereka selalu bersama, baik dalam perlombaan ataupun keorganisasian. Namun, hebatnya seorang Laira dan Anggara tidak pernah untuk mengobrol berdua bahkan ketika tidak sengaja saling menatap pun mereka selalu menundukkan pandangannya bukan karena tidak ada keberanian, melainkan ajaran Islamlah yang selalu menjadi pedoman kehidupan. Karena mereka sama-sama santri di pondok pesantren NURUL IBTIDAIYAH yang mana mereka mengamalkan salah satu dari kitab Ta’limul Muta’alim yang di dalamnya terdapat banyak sekali pesan untuk para pelajar yang mencari ilmu, seperti yang dikisahkan di dalamnya yaitu Syaikh Waqi’ dan Imam Syafi’i. Di mana Imam Syafi’i mengadu akan hafalannya yang buruk dan Syaikh Waqi’ pun memberikan nasihat kepada muridnya yaitu Imam Syafi’i sebuah nasihat bagaikan air sungai dengan segala kesegaran di dalamnya nasihat itu berisi. “Ilmu itu bagaikan cahaya, sedangkan cahaya tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat, maka jauhilah maksiat agar hafalanmu tetap erat.” Karena itulah Laira sangat menjauhi maksiat.

Tibalah hari Sabtu 17 Juni 2023, langit menangis, menciptakan bayangan tebal tepat dalam hatinya, perasaannya bagai gemuruh petir yang menggema dan tanah pun habis ditangisinya. Ini adalah hari perpisahan Anggara dan Laira karena Anggara harus mengejar cita-citanya, dengan tatapan Anggara yang syahdu mengisyaratkan akan adanya rindu temu.

Setelah dua tahun mengurai waktu dengan segala rindu, akhirnya mereka menjelma pertemuan di acara lomba yang digelar di kampus tempat Anggara meraih cita. Lagi-dan lagi Laira harus menerima kenyataan di mana Anggara dan Askandar merupakan mahasiswa di fakultas yang sama sehingga Laira bisu untuk menyapa. Pertemuan mereka bagai kilat yang lewat dihantui ketakutan, tetapi rindu akan pertemuan. Lima menit menjadi saksi rindu yang nyata. Laira terpaksa harus meninggalkan tempat itu karena semua teman dan gurunya sudah menunggu. Dengan jeritan kerinduan dan mata yang berkaca-kaca ia harus rela melepas rindu yang semu.

Laira pun segera menaiki mobil dan terus melihat ke jendela belakang. Hujan makin menjadi-jadi dan gemuruh menggambarkan isyarat hati bahwa Laira masih tak sudi. ‘‘Tuhan aku mencintai seseorang ,namun dia menyakitiku dan aku mencoba mencintai orang baru dan dia sangat mencintaiku, sehingga aku merasakan rindu pada keduanya,’’ gumam Laira dalam hati yang dilanda kerinduan.

Di perjalanan pulang yang dihantui kerinduan kini cuaca pun seolah ikut serta dalam sesaknya jiwa. Hujan deras yang mengiringi dan kabut hitam yang menghalangi menjadi sebab kematian Laira karena kendaraan yang ditumpanginya bertabrakan, Langit menangis semakin menjadi-jadi, kaca pecah menjadi luka darah, angin pun membawa kabar pasrah menjadikan jasad berlumuran darah. Jasad yang diselimuti kerinduan dan ketakwaan pada tuhan membuat kabar yang sangat menyakitkan hingga pendengar ikut syahid dalam keadaan.

Kabar itu pun sampai kepada Askandar, ia menorehkan pena pada tiap rintik hujan dengan teriakan yang sangat histeris karena kehilangan. Askandar menangis darah mendengar kenyataan itu, ternyata pertemuan itu adalah kata perpisahan yang sangat sopan.

‘‘Seharusnya, aku tak jatuh cinta saat hujan. Karena setiap hujan menyapa, sesakku terulang bersama genangan yang bernama kenangan,” ujar Askandar di teriak histerisnya.

‘‘ Tuhan, Laira satu-satunya orang yang terukir dalam jiwa, yang terkenang dalam masa, yang terikat dalam jiwa. Mengapa Kau ambil begitu saja, Tuhan, mengapa tak aku saja yang Kau ambil, mengapa, Tuhan?’’ ujar Anggara dengan menjatuhkan tubuhnya ke tanah, yang berlumur darah.

‘‘Kawan, sadarlah! Semua tidak lepas dari takdir Tuhan, sadarlah, Kawan, bahwa semua yang di dunia ini hanya titipan bahkan tubuh kita ini, ini titipan, Kawaaan!’’ ujar Askandar sambil memeluk Anggara dengan isak tangis luar biasa.

“Ta—tapi aku belum sempat mengungkapkan rasa ini, dunia ini terlalu singkat. Dunia ini tak adil. Aku mencintainya, Tuhan,” ujar Anggara dengan tubuh yang penuh keluh.

Sontak perasaan Askandar bagai pohon tersambar petir, mendengar perkataan Anggara, ternyata sahabatnya juga mencintai Laira, tetapi tak pernah sekalipun membicarakannya. Sungguh mereka menyimpan rasa yang sama pada satu gadis yang terluka.

Jasad Laira pun dikuburkan dengan ribuan isak tangisan, sejuta harapan, bahkan ribuan santri mengambil berbagai pesan dan peran, karena Laira adalah sosok wanita teladan bagi setiap insan.

Pesan: ‘‘Tuhan tidak melarang kita untuk jatuh cinta, namun tuhan melarang kita mendekati zina, Semoga kita bisa menjadi Wanita terjaga layaknya Sayyidah Aisyah r.a dan bertemu di surganya Allah Swt. Aamiin Ya Rabbal ‘alamin.

***

Tentang Penulis

Hallo, sobat Ufuk! Penulis kali ini adalah seorang Laila dengan Instagram-nya @galeri.lailasrianjani. perempuan yang independen dan ceria selalu siap di segala cuaca, tetapi kali ini kalah dengan kerinduan dan kehilangan sehingga menuliskan sebagian kisahnya dalam karya tulis dengan judul “Rintik Kerinduan yang Menjadi Kematian".

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar