[CERPEN] Lorong Kereta - Karya Suherti, M.Pd

Daftar Isi

Saat matahari setengah temaram berhasrat turun ke peraduan, di ruang tunggu kereta api, aku melihat lelaki yang berwajah tampan dengan gaya rambut belah tengah, bercelana jeans, dan menggunakan kemeja abu-abu, terlihat sebuah tas ransel berwarna coklat. Dia kelihatannya sedang sibuk menjawab telepon dan membalas WhatsApp-nya tanpa menoleh. Aku yang ikut duduk di sampingnya, sesekali melirik kepadanya, tetapi dia tetap sibuk dengan handphone-nya. Aku memberanikan diri menyapanya dengan suara yang agak nyaring. 

“Maaf mau ke mana, Mas?” kataku mengawali percakapan. Dia menolehku dan memberikan senyuman manisnya.

 “Kebayoran.” Begitu singkat jawabannya. Lelaki itu diam tanpa menunjukkan reaksi apa pun kepadaku, sangat dingin. Namun, dari perilakunya yang gelisah, aku menyadarinya bahwa dia sedang ada yang dipikirkan.

Kereta yang ditunggu jurusan Tanah Abang akhirnya tiba, dan resepsionis memberitahukan dengan jelas kepada para penumpang untuk segera naik dalam kereta. Aku bergegas masuk dalam gerbong kereta dan mencari tempat duduk. Betapa terhenyaknya aku, ternyata pemuda itu mempersilakanku duduk di sebelahnya. 

“Terima kasih  Mas,” kataku kepada pemuda tersebut. 

“Namaku Almeer,” kata pemuda itu sambil menyodorkan tangannya. Aku menerima jabatan tangan Almeer sambil menyebutkan namaku, “Andin.”

Tuuuuuuut! Bunyi klakson kereta api akan mulai melaju arah Tanah Abang, sementara Almeer yang mempersilakan aku duduk disebelahnya hanya terdiam, sesekali memperhatikan handphone miliknya. 

“Oh iya, Mas, sebenarnya ke Kebayoran dalam rangka bekerja atau kuliah?” kataku memberanikan diri mengajak Almeer mengobrol.

“Bertemu orang tua,” jawab Almeer. Suasana makin cair ketika aku aktif terus mengajak Almeer mengobrol. Kemudian, aku menawarkan juga permen Kopiko kepada Almeer. Suasana menjadi lebih asyik ketika obrolanku mulai ditanggapi serius oleh Almeer. 

Tidak  terasa kereta api hampir sampai di Kebayoran. Almeer memegang erat tanganku sambil berkata, “Terima kasih untuk ngobrolnya hari ini, semoga kita bisa bertemu kembali di  lain hari dan hubungi aku di nomor yang tadi aku share ke kamu,” ujar Almeer sambil tersenyum. 

Kereta pun berhenti di statsiun Kebayoran, Almeer dengan langkah gagah menuju pintu keluar gerbong dan menengok ke arahku seolah tidak mau berpisah denganku. Aku mengganggukkan kepala dan melambaikan tangan. Aku duduk kembali setelah punggung Almeer tidak terlihat. Tiba-tiba aku seperti menduduki benda, aku berdiri kembali dan kulihat apa yang ada di bangku  tersebut. Ternyata handphone-nya Almeer ada di kursi kereta api. Aku bingung bagaimana caranya memberitahukan Almeer bahwa handphone-nya tertinggal di kursi kereta api. Aku sempat terpikir untuk membuka handphone milik Almeer untuk mencari tahu alamat tinggalnya, tapi aku ragu karena itu privasi.

“Aku bawa dulu ini handphone Almeer, semoga aja Almeer telepon ke nomor handphone-nya,” gumam aku dalam hati.

Ternyata benar, tidak lama, suara panggilan dengan nomor Simpati dan bertuliskan “Mamah” dari handphone Almeer beberapa kali. Aku segera mengangkat telepon tersebut, dan terdengar dalam sapaan menyapaku, “Hei, Andin, aku sengaja meninggalkan handphone di kursi itu supaya kamu bisa mengantarkannya ke rumahku,” ujar Almeer. 

Aku bingung kenapa Almeer bicara seperti itu, akhirnya aku menjawab sapaan Almeer dengan meminta Almeer untuk mengirimkan alamat rumahnya, dan aku terpaksa harus mengantarkan handphone-nya Almeer. 

Saat itu juga aku berangkat menuju alamat rumah yang diberitahukan Almeer, rasanya aku pernah diajak sama orang tuaku ke alamat yang Almeer berikan kepadaku. Ternyata memang aku pernah bermimpi diajak sama orang tuaku ke satu alamat. Alamat itu ternyata jadi jawaban dalam kenyataan yang sekarang sedang aku cari. Segera aku mengucapkan salam di depan rumah yang Almeer berikan kepadaku. Salamku dijawab oleh suara perempuan yang syahdu. Sambil menghampiriku dengan senyuman manisnya. “Mencari siapa, Nak?” tanya seorang ibu itu kepadaku. 

“Saya mencari Almeer, Bu, apakah betul ini rumahnya?” jawabku. Ibu mengiyakan dengan menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba di belakang ibu itu, terlihat Almeer sedang tersenyum kepadaku. Lantas bicara tanpa terduga olehku. “Umi ini adalah calonku, calon mantunya Umi,” seloroh Almeer. Jelas aku kaget dan terhenyaak Almeer bicara seperti itu kepadaku. 

“Selamat datang di rumah kami, Andin,” kata ibu itu sambil tersenyum. “Terima kasih, Ibu,” kataku menjawab dalam kebingunganku.

Ibu Almeer duduk dalam kursi roda yang didorong oleh Almeer mendekatiku. Aku duduk tersipu malu dan masih bingung dengan sikap yang ditunjukkan oleh tuan rumah, yakni Almeer dan Ibu Almeer. Ibu Almeer mempersilakan kepadaku untuk mencicipi hidangan makanan yang sudah tersedia di atas meja tamu. Perbincangan serius mulai dibuka oleh Ibu Almeer, menanyakan kabar dan pekerjaanku sehari-hari. Aku pun dengan lugas menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadaku. Tak terasa perbincangan kami bertiga sudah tiga jam. Kemudian, Ibu Almeer pamit untuk istirahat dan mempersilakan aku untuk melanjutkan mengobrol dengan Almeer.

Almeer memegang tanganku sangat kencang sambil berkata, “Terima kasih, Andin, atas kepekaanmu dan ramahnya kamu kepada ibuku. Kalau boleh aku cerita pada kamu tentang ibuku, aku akan cerita panjang lebar kepaadamu. 

Andin pun bersedia mendengarkan cerita Almeer tentang ibunya. Akhirnya, Almeer menceritakan keadaan ibunya dari semenjak ditinggal meninggal ayahnya Almeer sampai kondisinya saat ini yang sangat mengkhawatirkan dan berharap Almeer secepatnya untuk menikah, sedangkan Almeer  belum ada pilihan wanita yang cocok untuk dikenalkan kepada ibunya. Almeer mengawali cerita dengan nada serius kepada Andin. “Saat bertemu kamu di lorong kereta api itu, aku mulai tertarik sama pandangan pertama matamu,” kata Almeer meneruskan perkataannya tanpa ragu kepada Andin.

“Maafkan aku seandainya tindakanku ini menjadi beban atau tidak berkenan di hati kamu, Andin,” kata Almeer sambil memegang tanganku sangat erat. Andin diam tidak bisa berkata-kata. Rasanya tak percaya dan bingung dengan kenyataan yang dihadapinya saat ini. 

Andin memang wanita yang sangat lugu, cantik, dan ramah. Usia Andin saat ini sudah di angka tiga puluh, tapi belum ada sedikit pun niat untuk berumah tangga. Andin hidup sendirian, kedua orang tuanya sudah meninggal dunia sehingga Andin harus berjuang keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Andin sosok wanita yang penuh semangat, setiap harinya dia bekerja sebagai penjaga toko di area Tanah Abang. Secara kebetulan Allah menunjukkan jalan kehidupan Andin bertemu sosok lelaki Almeer. 

“Apakah ini takdirku, Ya Allah, dipertemukan lelaki yang selalu ada dalam doaku,“ seloroh Andin. 

“Andin kenapa kamu bengong,” kata Almeer membuyarkan pikiranku saat itu. 

“Ah tidak, aku hanya tak percaya dengan apa yang sekarang terjadi pada diriku,” kata Andin menjawab. 

Tak terasa dari pertemuan itu, tiga bulan berlalu, Andin dan Almeer saling memberikan support dan terus berkomunikasi dengan baik. Sehingga pada akhirnya, Andin bersama Almeer memutuskan untuk menikah dengan restu ibunya Almeer. Mereka hidup bahagia bersama.

***

Tentang Penulis

Ia sering dipanggil Bunda Tresty, saat ini ia bekerja sebagai pengajar di MIN 2 Kota Tangerang Selatan. Ia mempunyai semangat menulis sejak empat tahun ini. Ia sudah menghasil beberapa buku solo dan buku kolaborasi. Menulis menjadi bagian dunianya selain di dalam dunia pendidikan. Salam literasi untuk semua.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar