[CERPEN] Half of Dejavu - Karya Adindaqa

Daftar Isi

“Tak ‘kan ada rasa kecewa untuk setiap manusia yang selalu menjaga prasangka baiknya terhadap Tuhan-Nya.”

~ Adirna Ceysa Ghania

***

Di tengah suasana ramainya kantin sekolah, terdapat tiga gadis yang saat ini kembali menjadi pusat lirikan para murid The Champions High School. Akibat mulut Lea yang sedari tadi heboh, teriak-teriak tidak jelas, hingga menggebrak meja, membuat kedua temannya itu berkali-kali menyumpal mulut Lea dengan bongkahan es batu sisa dari minuman Lea sendiri karena malu. Rasa ingin menyeret Lea  ke kolam ikan lalu menceburkan gadis itu makin niat.

“OMOO, OMOO! PDKT dua bulan udah jadiaaan?! AKUU JUGAA MAU, COY!” Dirna yang mendapat sentakan dari Lea, terkejut dan berakhir tersedak makanannya.

“Stop. Bisa pelan dikit nggak kalo ngomong? Tiga hari lagi Adirna tanding basket ke luar kota. Kalau sakit karena keselak, kamu mau gantiin Dirna?” ucap Nirmala yang tengah membukakan tutup botol air minum dan memberikannya kepada Dirna.

“Yeee, keselak doang nggak bakalan bikin Dirna sampe koid. Lagian kan Dirna kapten basketnya. Mana bisa aku gantiin dia sedangkan kemampuanku ada di bola voli,” ucap Azalea dengan merangkul pundak Dirna yang berada di antara mereka seraya menaik-turunkan kedua alisnya tidak jelas.

“Nggak ada yang nggak mungkin, Lea. Gegara keselak, siapa pun bisa saja mengalami kematian akibat pernapasan yang—“

“Cukup, Ketua, kami malu.”

“Yaaa, kalo kamu pasti udah tahu  itu, Dir. Biarin yang kerjaannya Cuma tidur di kelas juga paham mengenai materi itu,” ucap Nirmala seakan menyindir seseorang. 

“Biar nggak makin panjang, Mala. Karena kamu kalo kasih materi suka panjang. Makan waktu. Dan buat Lea, intinya jangan dibiasakan teriak-teriak, yaa? Kamu itu cewek, nggak baik bersikap kekanak-kanakan. Dijaga tutur kata dan perilakunya di mana pun dan kapan pun, yaaa?” tutur Dirna pada kedua sahabatnya.

“Ihh, tapiii akuuu—“

“Aishshsh, iyaaa, deeeh. Katanya mau jajan di kantin? Jadi, nggak? Betewe, nitip yaa, he-he. Sebab, waktu istirahatnya kurang 10 menit lagi,” sahut Mala kepada Lea yang kini memutar bola matanya malas sambil berdiri dari tempat duduknya.

Usai menerima uang dari kedua temannya, kini langkah Lea kian menjauhi area tempat duduk kedua temannya. Menatap punggung Lea yang perlahan menghilang dari pandangannya, tak terasa butiran air mengalir membasahi pipi Dirna.

“Dir?”

“Jangan tanya dulu. Aku bimbang, Mala.”

Gadis berkucir kuda itu mengusap pelan punggung Dirna dengan tatapan sendunya.

“Aku  tahu. Tapi aku mau, cerita itu keluar dari perkataanmu sendiri, Dir.” Dirna yang akan beranjak dari duduknya, tertarik cepat ketika Mala menarik tangannya sehingga ia kembali terduduk. “Jangan anggap aku angin lalu Adirna Ceysa Ghania. Cerita, yuk!”

“Apa ada problem di club basket? Kamu susah cetak poin?”

Dirna terdiam.

“Mapel mana yang nilainya turun? Biar nanti aku bantuin belajar.”

Gadis itu masih diam.

“Kamu berantem sama Faridan?”

Sudah beberapa pertanyaan yang dilontarkan Mala, sayangnya tak ada satu pun kata yang terlontar dari mulut Dirna untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hanya gelengan kepala dari Dirna yang Mala terima.

“Ya udah kalo nggak mau cerita sekarang, nggak pa-pa. Kapan-kapan aja kalo suasana hatimu kembali baik,” ketus Mala yang akan beranjak tetapi tertahan karena tangan Dirna yang menghentikannya. 

“Aku—“

“Kangen Daddy dan lagi ada masalah sama Momy-mu, kan?” 

Degh!

“Kamu merindukan mereka, bukan? Termasuk keharmonisan yang pernah ada?”

Ya! Lagi-lagi Mala mengetahuinya, membuat Adirna mengangguk kecil dengan senyuman kecilnya.

Terdengar helaan napasnya. Suaranya seakan tak kuasa menahan sesuatu yang sedari tadi menyesak dalam nayanika-nya. “Ini berat, Mala. Aku takut ngecewain Momy kalo aku nggak ikutin perintahnya.” 

Mala tersenyum tipis sembari menyenderkan kepala sahabatnya itu di pundaknya, “Nggak berat kok,  kamu nggak sendirian. Ada aku. Jangan hilangin kebiasaan cerita  ke aku, ya? Do you understand, teman?”

“Ajak aku pergi, Mala. Momy jahat kalo lagi marah. Aku takut, sama kemarahan Momy,” lirihnya dengan bibir yang bergetar saat tiga kata terakhir itu terucap.

Pertanda awan hitam t’lah kembali hadir dalam hatinya. Tercipta keraguan yang membuat runtuhnya pertahanan yang selama ini Dirna tampakkan di depan teman-temannya. Nestapa yang sekejap sirna, kini kembali menyelimuti segala keceriaan dan berlanjut larut dalam kesedihan.

”Jangan lari. Hadapi dengan berani sebelum keadaan semakin runyam, ya?”

Dirna mengangguk, kini ia tak lagi bersandar di pundak Mala. “Namun, gimana caraku menyelesaikan semuanya dengan perlahan tapi pasti?”

***

“Assalamualaikum—“

“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” sahut seorang wanita paruh baya yang sedari tadi berdiri tepat di belakang pintu mansion, membuat Dirna sedikit terkejut.

Dengan melayangkan tatapan seperti biasa, tanpa sadar Ida telah membuat putrinya sendiri takut padanya. “Dari mana saja kamu, wahai Tuan Putri? Baru pulang, atau mau belajar buta waktu?”

“Maaf, Mom. Pak Juan menginfokan ekstra basket dimajukan hari ini secara mendadak. Jadi sehabis pulang sekolah, aku lanjut ekstra,” ucap Dirna dengan jujur.

“Apakah kau habis kemalingan, Tuan Putri?”

“Maaf nggak ngabarin Momy dulu. Hp Dirna habis baterai. Dirna lupa nggak bawa cas.”

Menatap putrinya yang masih menunduk, Ida mengikis jarak di antara keduanya dengan terkekeh, “Saya percaya. Namun jika ketahuan kamu berbohong, saya harap kamu paham betul akan konsekuensinya.”

“Baik, Mom.”

“Bagaimana? Apa kamu sudah memutuskan hubunganmu dengan atlet futsal itu?”

“Tiga hari lagi Dirna ada tanding basket di gedung yang berada di kotanya. Otomatis Dirna bakalan satu kota sama dia,” lirih Dirna setelah terdiam beberapa detik, “Dirna akan mencoba berbicara dengan dia sesuai permintaan Momy.”

“Bagus. Saya selalu menunggu kabar itu,” ucap Ida menepuk pundak putrinya.

“Trauma Momy se-menakutkan itu, ya? Andai Momy paham jika tidak semua orang memiliki karakter yang sama. Gegara trauma Momy akan orang itu, bukan berarti Momy mengecap seluruh isi kota tersebut memiliki karakter yang sama,” batin Dirna menatap punggung ibu kandungnya itu, dengan air dalam nayanika-nya yang  mungkin sebentar lagi akan  membasahi pipinya.

***

Tiga hari telah berlalu. Hari ini, hari yang ditunggu-tunggu oleh Dirna. Ya, niat akan memenangkan tanding basket kali ini dengan semangat, juga bertemu dengan dia. 

“Kita, selesai.”

“Sebut alasan,” ketus Faridan. Hatinya sudah terlanjur kecewa. “Kenapa diam?” 

Bertemu dengan seorang  pemain futsal hebat seperti Faridan Ashkahf Ranggata adalah impian semua gadis yang mengidolakan Faridan. Namun, hanya untuk Adirna-lah Faridan  mengunjungi, menonton, serta ikut menyoraki Adirna agar kekasihnya itu bersemangat dan hasil kemenangan dari pertandingan kali ini jatuh pada tim basket Adirna. Bukankah seharusnya hal itu  membuat Adirna senang?

Tak ada penjelasan, jelas membuat Faridan bingung. Padahal bertengkar saja jarang. Akhir-akhir ini hubungan mereka juga baik-baik saja, tetapi mengapa Adirna—? Apakah Faridan telah membuat kesalahan tanpa sadar sehingga membuat Adirna memutuskan hubungan mereka?

“Kamu nggak salah, Idaan. Aku Cuma mau hubungan kita berhenti sampai di sini. Lupain aku, ya?” ucapnya menatap Faridan dengan senyum cantiknya.

“Stop. I know that and I don’t want to hear it anymore. Telingaku masih berfungsi, Dir. Apa aku ganggu belajar kamu? Ganggu fokus kamu? Or anymore?”

Adirna tersenyum sambil menggeleng. “You are very precious to me, Idann. I don’t regret knowing you. You are the best, you are my first love, you are the most handsome, you are the most adorable, you are my first experience.”

Raut wajah yang semula ceria, kini terlihat jelas kekecewaan yang terukir pada wajah tampan itu. Menatap tak percaya pada punggung Adirna yang kian menjauh.

“Mari benahi hubungan kita, Mom,” ucapnya dengan meneteskan air mata dan terus berjalan menjauhi Faridan di belakangnya. 

Rasanya baru kemarin butterfly era bergejolak dalam hati keduanya yang memasuki 2 bulan pendekatan, 2 minggu  berpacaran, dan 2 tahun kemudian Adirna telah bangkit dari  gagal move on-nya.

Dan kenangan dua tahun yang lalu usai kelulusan sekolahnya itu, kembali mengingatkan  seorang CEO muda yang tengah memperhatikan seseorang di layar televisi miliknya sebelum wanita itu berangkat bekerja.

“Nyatanya, komunikasi antara orang tua dan anak sangat penting. Aku yang dulu jauh dari Momy, tak sengaja menciptakan ruang kosong yang tak berpenghuni. Kamu baik-baik aja kan, Idan? You are the best!” monolog wanita berjas hitam dengan kerudung segi empatnya yang senada, tengah menatap layar TV yang menyorot seorang Faridan Ashkahf Ranggata tengah bertanding melawan lawannya.

“Kita berproses menggapai cita-cita masing-masing dengan jalan yang masing-masing pula. Maaf untuk kesalahanku dua tahun yang lalu, yaa? Selamat bergelut dalam dunia kerja masing-masing. Nice to meet you.”

***

Tentang Penulis

Adindaqa adalah nama pena seorang gadis kelahiran Oktober  2007. Yang di mana masih menduduki bangku sekolah di usianya yang menjelang 17 tahun, tahun ini. Oh ya! Untuk cerita “Half of Dejavu”-nya belum berhenti sampai di sini, loh! Akhir dari cerita HOD justru awal dari perjalanan cerita tersebut. Gadis penyuka olahraga, menulis, kucing, dan coklat ini bisa di jumpai di akun Instagram-nya, @dn.qrn.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar