[CERPEN] Fokus - Karya Stella C.

Daftar Isi

Entah sudah berapa lama pemuda berkulit cokelat ini menatap ke luar, memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang menjalani aktivitas masing-masing. Ia menyandarkan tubuhnya yang tinggi tegap dengan nyaman pada bantalan kursi sembari terus menatap ke luar jendela. Pikirannya sibuk berkelana pada kejadian siang tadi yang membuatnya berada di tempat duduknya sekarang.

“Arya, kamu harus tinggal sama Om Jun dulu beberapa hari ke depan. Kerjaan Ayah nggak bisa ditinggal, habis ini mau pergi lagi. Bi Rum pulang lebih awal dan nggak masuk untuk beberapa hari ke depan karena anaknya sakit. Di rumah Om Jun jangan main game terus, jangan ngerepotin Om Jun, paham?” Perintah seorang laki-laki berusia 40-an akhir dengan tegas dan cepat sambil memasukkan beberapa barang ke dalam ranselnya dengan terburu-buru.

“Aku nginap di rumahnya Ardi aja, belajar bareng buat ujian kelulusan terus Rabu mau pergi ke konser bareng,” balas pemuda yang ternyata bernama Arya ini dengan cuek.

“Ya ampun kamu itu maiiiiiin terus! Belajar bareng apa? Paling-paling, kalian berdua hanya bermain game seharian penuh! Kamu sudah kelas 3 SMA, pikirkan masa depanmu Arya!” marah sang Ayah sambil menggendong ranselnya dan bergegas menuju pintu depan rumah.

“Supaya apa, Yah?! Supaya aku jadi orang yang nggak ingat rumah seperti ayah, iya?! Ayah tuh jarang pulang, sekalinya pulang selalu marah-marah nggak jelas, sekarang juga asal tuduh!!” jerit Arya yang sakit hati karena dituduh sembarangan dan sering ditinggal ayahnya.

“ARYA!!! Jaga omongan kamu!! Ayah kerja gini juga demi kamu tahu!! Kamu sudah besar, tapi tidak tahu tanggung jawabmu, itu yang buat Ayah marah!” 

“Ayah pikir Ayah tahu tanggung jawab Ayah?!! Ngga punya waktu buat keluarga, kalau Ayah nggak ikhlas ada di rumah, kenapa nggak usah pulang aja, Yah, sekalian?!!!” balas Arya semakin sengit.

PLAK!!! Sebuah tamparan membungkam mulut remaja malang ini. Arya membeku pada posisinya.

“Cukup, Arya. Pokoknya hari ini juga kamu ke Om Jun, TITIK dan Ayah NGGAK MAU dengar masalah tentang kamu, paham?!!!!” Perintah terakhir Ayah Arya sebelum pergi meninggalkan Arya yang masih terpaku seorang diri.

Pemuda bernama Arya ini mengambil hot mochachino-nya dan menyesapnya. Pandangannya kembali menatap pemandangan luar. 

“Hari ini berjalan seperti biasa. Setiap hari, semuanya berjalan seperti biasa, kecuali Ayah,” gumam Arya perlahan dengan tatapan kosong. Arya merasa ayahnya telah berubah: menjadi lebih cepat marah, lebih pendiam, dan jarang berada di rumah meskipun pada hari libur. Padahal Arya tahu, ayahnya merupakan orang yang enggan bepergian ke luar rumah jika tidak diperlukan. Arya sadar, perubahan ini muncul setelah ia dan ayahnya kehilangan sosok yang paling berharga dalam hidup mereka, tepat pada 6 bulan yang lalu. 

Getar smartphone Arya yang cukup hebat memecah lamunan pemuda ini. Sebuah panggilan masuk.

“Halo, Om?” sapa Arya lesu. 

“Arya, kamu di mana? Ini dari tadi Om liat dari rumah Om, kamu nggak ada di rumah ya? Jam berapa kamu mau ke sini?” rentetan pertanyaan keluar menyerbu telinga kanan Arya. 

“Iya, Om, aku masih di luar. Sebentar lagi aku ke sana,” balas Arya masih dengan tidak bersemangat.

“Ya sudah, jangan lama-lama ya. Hati-hati, sudah malam. Ayahmu juga bisa marah kalau tahu kamu nggak langsung ke rumah Om,” ucap Om Jun dengan lembut. Arya menangkap sedikit kekhawatiran dalam nada bicara omnya tersebut.

“Om Jun berbeda sekali dengan Ayah,” batin Arya setelah panggilannya dengan Om Jun berakhir. “’Kalau tahu?’ Memang Ayah kepikiran menanyakan kondisiku sekarang?” batin remaja laki-laki ini lagi dengan getir.

Merasa bosan, Arya keluar dari kedai kopi. Sambil menggendong ranselnya yang padat berisi, ia berjalan tak tentu arah. Arya merasa bimbang, apa sebaiknya Ia pulang saja, atau meneruskan kebebasannya ini? Ya, semenjak meninggalkan rumah siang tadi, Arya telah pergi ke banyak tempat dan merasakan sesuatu yang baru dalam hidupnya. Kebebasan. Sesuatu yang sangat jarang ia dapatkan jika ia bersama ayahnya, bahkan boleh dibilang, tidak pernah.

Mata Arya yang tajam tiba-tiba terpaku pada papan nama suatu bangunan yang bersinar terang dekat tempat ia berdiri. Papan nama tersebut berlatar belakang hitam elegan dengan huruf-hurufnya memancarkan sinar emas yang menusuk mata. Sebuah klub hiburan malam. Arya terpukau melihat bangunan tersebut. Sejenak ia ragu, tetapi beberapa saat kemudian ia memantapkan kakinya melangkah masuk ke dalam klub malam tersebut. 

“Sekali-sekali tidak apa-apa, lah, mumpung sekarang bisa masuk. Dari dulu penasaran bagaimana dalamnya,” ujar Arya sendiri meyakinkan dirinya. Sesaat setelah ia menginjakkan kakinya ke dalam, ia langsung disuguhkan dengan pemandangan yang baru baginya. Orang-orang yang menari sesuka hati, gerombolan orang mengobrol dan tertawa kencang ditemani gelas-gelas minuman, serta DJ yang asyik memadu padankan musik. Arya mulai menggerak-gerakkan kepala dan badannya mengikuti ritme musik sembari mencari tempat ia bisa memesan sesuatu sebagai pelepas dahaga. Puas meminum satu gelas ice tea, Arya kembali mengamati sekitarnya. “Sepertinya semakin malam bakalan semakin ramai nih,” gumamnya sendiri, sedikit gugup.

Arya turun dari kursi bar untuk mencari toilet. Sekembalinya dari toilet, Arya melintasi suatu ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Dari dalam ruangan tersebut, terdengar sekilas percakapan beberapa orang yang mencurigakan, seperti perjanjian kerja sama yang terlarang. Rasa ingin tahu Arya terusik. Arya mendekat untuk berusaha mendengarkan pembicaraan yang berlangsung, tetapi ia kepergok oleh salah satu anggota kelompok mencurigakan tersebut yang segera menangkap Arya dan membawanya pada pimpinannya yang tengah asyik duduk di sofa panjang, ditemani dua koper hitam besar. 

“Biasanya saya tiada ampun, terutama bagi pencuri informasi sepertimu. Tetapi, saya akan mengampunimu kali ini dengan syarat, kamu bekerja untuk saya. Bagaimana, Nak?” tawar laki-laki berbadan berisi tersebut dengan seringai menyeramkan.

Arya membeku. Ia tidak ingin bekerja sama dengan orang yang tidak jelas asal usul dan pekerjaannya. Terlebih, Arya yakin, bisnis mereka adalah bisnis terlarang. 

“Nak, kami tidak punya banyak waktu. Cepat putuskan, kamu mau ikut kami dengan sukarela, atau, kami bawa?” ucap sang Bos, membuyarkan lamunan Arya. Jantung Arya terasa berdebar seratus kali lebih cepat dari biasa. Keringat dingin membasahi kening dan seluruh tubuhnya. 

Suara ketukan di pintu memecah ketegangan. “Room service, Pak,” jawab seorang waiters sambil tersenyum dan memegang satu kereta dorong minuman saat salah satu anak buah pimpinan tersebut pergi memeriksa. Anak buah tersebut membukakan pintu lebih lebar untuk membiarkan waiters tersebut masuk, tetapi bukannya waiters tadi yang masuk, melainkan beberapa laki-laki dengan pakaian casual yang mendorong pintu tersebut dengan paksa dan tergesa-gesa. 

“POLISI!! JANGAN BERGERAK!!! TIARAP SEMUA TIARAP!!!” perintah laki-laki yang mengenakan outer cokelat elegan dengan senjata yang stand by di tangannya. Ruangan tersebut dengan cepat langsung dipenuhi orang-orang berpakaian casual dan mengarahkan senjata masing-masing, mengepung para pelaku bisnis terlarang. “A—Ayah?” Arya tergagap melihat sosok yang mengomando tadi ternyata adalah ayahnya. Bukannya Arya tidak mengetahui ayahnya adalah seorang polisi, hanya saja, tidak terpikir olehnya bahwa ia akan bertemu dengan ayahnya di tempat dan kondisi seperti ini. Penyergapan bisnis terlarang tersebut berjalan dengan lancar tanpa perlawanan yang berarti. Semua orang yang berada di ruangan tersebut diringkus dan dibawa ke kantor polisi, tak terkecuali Arya. Arya bernafas lega karena dapat terbebas dari bahaya dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun.

Arya diperbolehkan meninggalkan kantor polisi setelah memberikan keterangan dan terbukti bahwa ia tidak terlibat sama sekali dengan bisnis terlarang tersebut. Ia berjalan ke teras depan kantor polisi dan melihat jam tangannya, hampir pukul 06.00 pagi. Beruntung sekolahnya sedang libur. Getar smartphone yang cukup keras kembali membuat Arya terkejut. 

“Halo, Om?”

“Arya, Om sudah dengar semuanya dari ayahmu. Om jemput kamu sekarang ya, kamu jangan ke mana-mana, oke?”  pinta Om Jun dengan terburu-buru.

“Oke, Om,” jawab Arya datar.

Arya menghempaskan dirinya di sebuah kursi panjang yang terletak di teras depan tersebut dan bersandar pada ranselnya, berusaha membuat dirinya nyaman untuk beristirahat hingga Om Jun tiba. 

“Arya, kalau mau tidur itu di rumah, bukan di sini,” larang laki-laki dengan kaos hitam oblong yang mendekatinya saat mata Arya sudah hampir terpejam seutuhnya.

“Eh, A—Ayah.” Arya terkesiap dan langsung membenarkan posisi duduknya. Ayahnya mengambil tempat di samping Arya. Keheningan yang canggung menghampiri mereka berdua. 

 “Arya, Ayah ingin tanya. Untuk apa kamu semalam ke klub itu? Apa kamu tahu tempat apa itu?” tanya ayah Arya perlahan memecah keheningan.

“Eee, iya, aku tahu, Yah. Eum, maaf, Yah. Aku, aku. Aku cuma iseng aja ke situ. Maaf—” Arya belum selesai dengan kalimatnya ketika ia bisa merasakan tangan ayahnya tiba-tiba memeluknya dengan erat.

“Ayah yang seharusnya minta maaf Arya. Ayah sudah menjadi Ayah yang buruk. Ayah benar-benar minta maaf, terutama untuk kejadian kemarin. Ayah sengaja menyibukkan diri sendiri, di kala Ayah sebenarnya bisa menemanimu di rumah. Maafkan Ayah, Arya,” suara ayahnya terdengar penuh penyesalan.

Arya terkejut, tetapi dengan cepat ia dapat menguasai dirinya dan membalas pelukan ayahnya. “Arya juga minta maaf, Yah, kata-kata Arya kemarin kelewatan. Tidak seharusnya Arya berkata begitu,” ujar Arya turut mengakui kesalahan.

“Tidak, Nak, Ayah paham perasaanmu. Selama ini pasti kamu merasa kesepian dan tertekan. Ayah terlalu fokus pada kehilangan sehingga mengabaikan apa yang masih Ayah miliki. Hampir saja ayah kehilangan kamu juga, Nak.” Kedua tangan ayahnya dapat Arya rasakan makin erat mendekap dirinya. Bersamaan dengan hatinya yang menghangat, Arya turut mempererat kedua tangannya memeluk ayahnya.

“Arya, saat ini kamu pulang dengan Om Jun dulu ya. Ayah benar-benar minta maaf, saat ini Ayah benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaan Ayah. Tetapi hari ini Ayah akan berusaha untuk pulang lebih cepat dan kita akan makan malam bersama, oke?” ucap Ayah Arya setelah melepas pelukannya. 

“Oke, Yah, Arya paham kok,” jawab Arya sambil memberikan senyuman yang ia bisa.

Ayah Arya ikut tersenyum mendengar jawaban putranya tersebut, diikuti dengan tangannya yang mengusap rambut Arya sebentar dan memeriksa apakah Arya terluka atau tidak. “Syukurlah tidak terluka sedikit pun. Bisa-bisanya karena terlampau fokus menangisi yang telah tiada, aku malah menelantarkan harta paling berharga yang masih aku miliki ini. Syukurlah Tuhan masih memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Maafkan Ayah ya, Arya. Ayah akan berusaha untuk menjadi ayah yang lebih baik setiap harinya,” batin ayah Arya sembari kembali mendekap Arya dengan erat.

***

Tentang Penulis

Stella C. merupakan nama seorang gadis kelahiran Maret 2000 yang karyanya barusan selesai kalian nikmati. Tidak beraroma jeruk karena bukan pengharum ruangan. Pemilik hobi membaca buku, menulis, dan menonton film ini dapat disapa melalui akun Instagram-nya, @stellac_18.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar