[CERPEN] Rindu Yang Tak Sampai - Karya Ketut Ariyanti

Daftar Isi

Sore itu  di depan rumah yang sederhana, terlihat seorang wanita paruh baya yang sedang menyapu. Tubuhnya sudah mulai membungkuk, membuatnya tidak mampu lagi untuk sekadar berdiri tegak. Sisa hujan semalam membuat daun-daun berguguran dan sebagian jalan menjadi becek. Rumahnya yang hanya terbuat dari papan yang juga sudah mulai rapuh membuat sebagian air masuk. Pekerjaannya sehari-hari hanya membuat sapu lidi yang hanya dibayar lima ribu satu ikatnya.

Meskipun hidup serba kekurangan, wanita itu tetap tersenyum sambil menyapu halaman. Namanya Bu Darmi. Ia dikenal sebagai sosok yang ramah dan ringan tangan di kampungnya. Setiap pagi, setelah menyapu dan mengeringkan air yang masuk ke dalam rumah, Bu Darmi akan duduk di teras, mulai memilah lidi-lidi kelapa yang telah dikumpulkannya untuk dijadikan sapu lidi.

Di antara hiruk-pikuk kehidupan kota yang makin menggeliat, kampung kecil itu masih mempertahankan kedamaian dan kesahajaannya. Suara kendaraan yang lalu lalang dari kejauhan menjadi latar belakang yang mengiringi aktivitas pagi Bu Darmi. Kadang-kadang, ada anak-anak yang lewat dan menyapa, "Bu Darmi, pagi!" sambil melambai ceria. Senyumnya yang menenangkan adalah jawaban yang sudah mereka hafal.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya pagi itu, Bu Darmi beristirahat sejenak. Di tangannya tergenggam cangkir teh hangat yang baru saja diseduhnya. Ia memandangi pohon mangga di halaman rumah, satu-satunya pohon yang masih memberikan buah setiap musim. Kenangan tentang anak-anaknya yang kini sudah merantau ke kota terlintas di benaknya. Sesekali, ia mengusap sudut matanya yang berkaca-kaca, merindukan kehadiran mereka.

Siang itu, seperti biasanya, Bu Darmi berjalan ke rumah Ibu Lurah, membawa seikat sapu lidi yang sudah selesai ia buat. Di sepanjang perjalanan, ia menyapa warga yang ditemuinya, menyebarkan semangat dan kebahagiaan kecil kepada orang-orang di sekelilingnya.

Ketika sampai di rumah Ibu Lurah, ia disambut hangat. "Bu Darmi, sapunya bagus sekali seperti biasa. Saya akan membayar lebih hari ini," kata Ibu Lurah sambil menyerahkan sejumlah uang yang lebih banyak dari biasanya. 

"Terima kasih banyak, Bu. Ini sangat membantu," jawab Bu Darmi, terharu dengan kebaikan hati Ibu Lurah.

Sore itu, Bu Darmi pulang dengan hati yang lebih ringan. Langkah kakinya terasa lebih kuat dari sebelumnya. Meskipun hidupnya penuh tantangan, ia tetap bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Baginya, kebahagiaan bukanlah soal memiliki segalanya, melainkan mensyukuri apa yang ada.

Ketika matahari mulai terbenam, Bu Darmi duduk di bangku tua di teras rumahnya. Sambil menatap langit yang berubah warna, ia berdoa dalam hati untuk anak-anaknya, berharap mereka sehat dan bahagia di tempat yang jauh. Di dalam kesederhanaannya, Bu Darmi menemukan ketenangan dan kebahagiaan yang sejati.

Hari mulai gelap, dan Bu Darmi kembali ke dalam rumahnya yang sederhana. Ia menutup pintu, bersiap untuk istirahat, dan mempersiapkan dirinya untuk hari esok yang penuh harapan.

Sebelum terlelap, terkadang Bu Darmi membayangkan bisa berkumpul bersama anak-anaknya yang sudah tiga tahun ini tidak kunjung pulang atau sekadar memberi kabar. Kesendiriannya menjadi kesedihan yang tidak bisa digantikan walau dengan harta, suaminya juga sudah lama berpulang saat anak-anak mereka masih kecil. Saat itu, beliau sangat terpukul dengan kepergian suaminya, segala usaha ia lakukan agar anak-anaknya bisa sukses dan mengangkat derajatnya jadi lebih baik. Ditemani radio yang terkadang suaranya sudah putus menyambung menjadi teman beliau setiap harinya, selalu berharap anaknya mau menelepon dan bertanya bagaimana keadaannya. 

Sebelum matahari bersinar Bu Darmi sudah siap dengan satu tampah kue basah yang sejak subuh tadi sudah ia siapkan, selain berjualan sapu lidi, Bu Darmi juga berjualan kue setiap hari yang akan ia tawarkan kepada setiap orang lewat. Tidak naik sepada atau pun gerobak karena ia tidak punya semua itu, tampah yang berisi kue itu ia junjung di atas kepalanya dan di tangan kanannya ia membawa tas keranjang untuk air minum dan sedikit bekal yang akan dimakan nanti siang. Bu Darmi selalu berdoa semoga setiap langkahnya bisa menjadi kebaikan baginya dan orang lain. 

"Bu Darmi saya mau beli kue." Bu Darmi pun sedikit menepikan langkahnya ketika ada yang ingin membeli kuenya.

"Berapa harga satunya Buk? " tanya pemuda itu.

 "Tiga ribu rupiah, Nak," jawab Bu Darmi dengan senyum ramah. Wanita paruh baya itu menatap penuh harap pada pemuda yang berdiri di depannya. “Baiklah, saya beli dua," ujar pemuda itu sambil merogoh kantong celananya dan mengeluarkan uang. Bu Darmi dengan cekatan mengambil dua kue dari tampah dan menyerahkannya. “Terima kasih, Nak. Semoga rezekimu lancar," doa Bu Darmi sambil tersenyum. Pemuda itu mengangguk dan berjalan pergi, menikmati kue yang baru dibelinya. Bu Darmi melanjutkan langkahnya menyusuri jalan setapak yang mengarah ke pasar. Matahari mulai terbit, sinarnya menyinari jalanan yang mulai ramai. Di sepanjang perjalanan, beberapa orang lagi berhenti untuk membeli kue darinya. Pagi itu terasa lebih cerah dari biasanya. Setiap kue yang terjual, selain memberikan sedikit penghasilan, juga memberikan kebahagiaan kecil di hati Bu Darmi. Setidaknya, ia tahu bahwa hasil jerih payahnya diapresiasi orang. Sesampainya di pasar, Bu Darmi duduk di tempat biasa, di bawah pohon rindang yang terletak di sudut pasar. Di sini, ia bertemu dengan teman-temannya yang juga berjualan.

"Bu Darmi, kuenya laris ya pagi ini?" sapa Ibu Sumi, teman baiknya. “Alhamdulillah, Bu Sumi. Lumayan, sudah setengah terjual," jawab Bu Darmi dengan gembira. Ibu Sumi tersenyum. "Semoga semuanya habis ya, Bu."

"Amin," jawab Bu Darmi. Sambil beristirahat, Bu Darmi mengeluarkan bekal yang dibawanya, nasi dan sambal tempe yang sederhana. Makan siang itu terasa istimewa baginya karena didampingi oleh teman-temannya yang juga sedang makan siang. Setelah beristirahat sejenak, Bu Darmi kembali menjajakan kuenya. Ia berjalan keliling pasar, menawarkan kue-kue lezatnya kepada pengunjung pasar yang sibuk. Tak terasa, sore pun tiba, dan kue di tampahnya hampir habis terjual. Di perjalanan pulang, Bu Darmi merasa lega dan bersyukur. Meski sederhana, ia bisa mengumpulkan rezeki yang cukup untuk hari itu.

Bu Darmi selalu bersyukur tentang keadaannya saat ini meskipun  di usianya yang sudah senja ini ia hanya tinggal sendirian tanpa ditemani oleh anak-anaknya. Walaupun jauh, di hatinya ia ingin sekali bisa merasakan hangatnya berkumpul bersama keluarga. Pernah suatu ketika Bu Darmi jatuh sakit, ia mencoba untuk mengabari anaknya yang ada di Jakarta. Namun, semua panggilannya tidak satu pun terjawab, Bu Darmi hanya bisa menangis dalam doanya, semoga Tuhan bisa melembutkan hati anak dan membuat mereka ingat ada seorang ibu yang selalu menunggunya.

***

Tentang Penulis

Ketut Ariyanti atau yang biasa dipanggil Ketut. Remaja 21 tahun yang memiliki hobi membaca dan saat ini memiliki kegiatan, yaitu bekerja. Mengikuti beberapa karya antologi berupa puisi dan cerpen yang sudah cetak di sebuah grup literasi. 

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar